Kemiskinan dan Kesenjangan
1. Konsep dan Definisi
Kesenjangan Ekonomi (ketimpangan dalam distribusi pendapatan) yang terjadi di banyak negara sedang berkembang mengilhami para pembuat kebijaksanaan untuk menitik beratkan pembangunan dengan tujuan laju pertumbuhan yang tinggi dan percaya dengan adanya Trickle down effect.
Namun dalam kenyataannya setelah 10 tahun berjalan, efek meurun kebawah tersebut berjalan lambat, ditandai oleh kesenjangan yang semakin membesar.
Orientasi pembangunan berubah à kesejahteraan masyarakat lebih diutamakan salah satunya melalui peningkatan pembangunan luar jawa seperti program IDT, pembangunan usaha kecil dan RT dll.
Krisis moneter yang menimpa Indonesia memperparah kesenjangan ekonomi masyarakat.
Kemiskinan relatif adalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dengan ukuran pendapatan perkapita
Kemiskinan absolut adalah apabila kebutuhan minimum untuk bertahan hidup sebahagian besar masyarakat tidak dapat terpenuhi.
2. Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan
Data 1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi.
Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan si kaya dengan si miskin.
Penelitian di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 1980an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia.
Janti (1997) menyimpulkan è semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga.
Hipotesis Kuznets è ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan.
Dengan data cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemnukan bahwa relasi kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U terbalik.
3. Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Indikator Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini.
Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.0
Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0. Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien gini antara 0,2-0,35.
Selain alat ukur diatas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.
Indikator Kemiskinan
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line).
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut.
Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
4. Temuan Empiris
a. Sebelum krisis moneter menimpa Indonesia, pendapatan perkapita melebihi U$ 1,000, namun 10% dari jumlah penduduk menikmati 90% PN
b. Pada awal pemerintahan Orde Baru fokus pembangunan ekonomi selain pada pertumbuhan juga pada pemerataan melalui konsep Trilogi Pembangunan
c. Selama Orde baru, kesenjangan semakin memburuk terlihat dari laju pertumbuhan pendapatan dan koefisien Gini yang mencerminkan ketimpangan distribusi pendapatan
d. Dari kriteria Bank Dunia, tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan di Indonesia selama kurun waktu 1984 – 1997 tergolong rendah, termasuk dalam gologan negara Industri maju asia seperti : Korsel, Singapura, Jepang dan Hongkong.
5. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Tingkat Pendidikan yang rendah à sistempenghargaan yang kurang baik (penggajian).
Produktivitas Rendah.
6. Kebijakan Antikemiskinan
STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN
a. Pertumbuhan Ekonomi yang berkelanjutan dan Pro Kemiskinan
§ Pembangunan Sektor Pertanian dan Ekonomi Pedesaan
§ Manajemen lingkungan SDA
§ Transportasi, komunikasi, keuangan dll.
b. Pemerintahan yang baik (Good Governance)
c. Pembangunan Sosial
Intervensi jangka menengah dan jangka panjang
ü Pembangunan Sektor Swasta
Peningkatan peran swasta sebagai penggerak dan motor pembangunan ekonomi
ü Kerjasama Regional
Untuk menghindari gap daerah kaya dan miskin
ü Manajemen Pengeluaran Pemerintah (APBN)
Cost Effectivness
ü Desentralisasi
Peran aktif masyarakat daerah untuk pembangunan ekonomi dan sosial sesuai keunggulan komperatif dan kompetitif
ü Pendidikan dan Kesehatan
Peran swasta diperbesar
ü Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan.
- ü Pembagian tanah pertanian yang merata
Kebijakan lembaga dunia mencakup World Bank, ADB, UNDP, ILO, dsb.
World bank (1990) peperangan melawan kemiskinan melalui :
a) Pertumbuhan ekonomi yang luas dan menciptakan lapangan kerja yang padat karya.
b) Pengembangan SDM.
c) Membuat jaringan pengaman social bagi penduduk miskin yang tidak mampu memperoleh dan menikmati pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja serta pengembangan SDM sebagai akibat dari cacat fisik dan mental, bencana, konflik social atau wilayah yang terisolasi.
World bank (2000) memberikan resep baru dalam memerangi kemiskinan dengan 3 pilar:
a) Pemberdayaan yaitu proses peningkatan kapasitas penduduk miskin untuk mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan memperkuat partisipasi mereka dalam proses politik dan pengambilan keputusan tingkat local.
b) Keamanan yaitu proteksi bagi orang miskin terhadap goncangan yang merugikan melalui manajemen yang lebih baik dalam menangani goncangan ekonomi makrodan jaringan pengaman yang lebih komprehensif.
c) Kesempatan yaitu proses peningkatan akses kaum miskin terhadap modal fisik dan modal manusia dan peningkatan tingkat pengembalian dari asset asset tersebut.
ADB (1999) menyatakan ada 3 pilar untuk mengentaskan kemiskinan :
a) Pertumbuhan berkelanjutan yang prokemiskinan.
b) Pengembangan social yang mencakup: pengembangan SDM, modal social, perbaikan status perempuan, dan perlindungan social.
c) Manajemen ekonomi makro dan pemerintahan yang baik yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan.
d) Factor tambahan:
· Pembersihan polusi udara dan air kota-kota besar.
· Reboisasi hutan, penumbuhan SDM, dan perbaikan tanah.
Sumber ::
Nama : Putri Marchela Pratiwi
Kelas : 1EB17
NPM : 25210457
0 komentar:
Posting Komentar